AL-JAWAHIR AL-HISAN FI TAFSIR AL-QUR’AN

I.       PENDAHULUAN
Al Qur’an telah memberi contoh berkenaan dengan kehidupan nyata, bagaimana pengembangan sumber daya manusia, pengembangan ilmu pengetahuan, pengorganisasian masyarakat, tehnologi dan juga pemikiran serta pandangan, bahwa alam semesta berikut seluruh isinya bukanlah merupakan realitas independen, apalagi terakhir (ultimate), melainkan “tanda-tanda” dari kebesaran dan keberadaan Allah SWT.
Salah satu cara untuk menguak “tanda-tanda” tersebut adalah dengan melakukan penafsiran terhadap firman Tuhan yang termaktub dalam al Qur’an al Karim. Dan salah satu kitab tafsir yang berusaha “membaca” ayat-ayat Tuhan tersebut adalah kitab al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim.
Menurut Fazlur Rahman, kitab al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim karya Tanthawi Jauhari dinilai sebagai kitab tafsir yang bercorak ilmiah, yang pada masanya telah memberikan ghirah tersendiri bagi umat Islam, khususnya dalam memahami, mendalami, dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam kitab tafsir ini, Tanthawi Jauhari menggunakan pelbagai data ilmiah sebagai variabel dalam menjelaskan ayat al Qur’an.
Menurut penelitian Tanthawi, tidak kurang dari 750 ayat al Qur’an berbicara dan mendorong manusia ke arah kemajuan ilmu pengetahuan. Ia heran mengapa mufassir  klasik hanya mengkaji dan menekankan banyak hal tentang ilmu fiqh –yang tidak lebih dari 500 ayat sharih- dan lengah terhadap arahan al Qur’an tentang ilmu tumbuh-tumbuhan, biologi, ilmu hitung, fisika, sosial dan seterusnya. Inilah salah satu hujah mengapa Tanthawi kemudian memunculkan satu corak tafsir dengan pendekatan ilmiah, sebagaimana tertuang dalam muqadimah tafsirnya[1]
Namun begitu, harus dicatat bahwa al Qur’an bukanlah buku sains ataupun tehnik karena sejak semula al Qur’an bukanlah dimaksudkan untuk menjawab semua problem manusia. Banyak hal yang dapat diperoleh di luar al Qur’an. Oleh karena itu, menafsirkan al Qur’an bukanlah untuk memenuhi kebutuhan aktual dan tehnik, melainkan berupaya berdialog dengannya untuk melihat bagaimana pandangan-pandangannya.[2]

II.    PEMBAHASAN
A. Profil Tanthawi Jauhari
Tanthawi Jauhari Tanthawi bin Jawhari al-Mishriy lahir pada 1287 H/1862 M (ada yang menyebut tahun 1870 M) di desa 'Iwadillah, di propinsi administratif Mesir Timur, dekat dengan peninggalan Fir'aun. Masa kecilnya, Tanthawi hidup bertani bersama orang tuanya, tapi ia juga belajar di kuttab (semacam pesantren penghafal Al Quran) yang berada di desa al-Ghar, di samping belajar pada pamannya, yang masih keturunan bangsawan. Orang tuanya menginginkan Tanthawi kelak menjadi orang terpelajar. Atas saran pamannya, Syekh Muhammad Syalabi, yang juga Guru Besar bidang sejarah di Universitas AI-Azhar, Tanthawi pun mempelajari ilmu bahasa Arab (fashahah dan balaghah) serta ilmu agama, lalu kuliah di Al-Azhar, Kairo. Tetapi karena faktor kesehatan, studinya terhenti. la kembali ke habitat keluarganya, yaitu bertani. Kendati demikian, minat belajarnya tak terhenti. Di tengah kesibukannya, Tanthawi selalu mengamati dan memperhatikan pepohonan, bunga-bunga, dan tanaman lainnya. Mulai dari proses tumbuhnya, fungsinya, hingga manfaatnya di bidang kedokteran. Ternyata Allah SWT membukakan mata hatinya untuk mengetahui ilmu-ilmu alam. Saat memperhatikan keindahan dan keelokan alam, ia pun berdoa semoga Allah SWT memberikan kesembuhan padanya. Doanya dikabulkan dan ia pun kembali masuk ke Al-Azhar setelah tiga tahun meninggalkannya. Kali ini, Tanthawi belajar al-Khitabah (seni berpidato) dan ilmu falak pada Syekh 'All AI-Bulaqi selama empat tahun. Semasa kuliah itu ia bertemu dengan Muhammad Abduh, dosen tafsir, yang besar pengaruhnya terhadap pemikiran Tanthawi, terutama dalam bidang tafsir. Tanthawi selalu berusaha mengikuti kuliah yang diberikan Muhammad Abduh.
Tahun 1889, Thanthawi pindah ke Universitas Dar al-'Ulum, hingga tamat pada 1893. Di sini ia mempelajari beberapa mata kuliah yang tidak diajarkan di Al-Azhar, seperti matematika (al-Hisab), ilmu ukur (handasah), aljabar, ilmu falak, botani ("ilm al-Nabat), fisika ('ilm al-Habi'ah), dan kimia (al-Kimiya'). Setelah menyelesaikan studinya, beberapa waktu lamanya Tanthawi mengajar di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Kemudian ia mengajar di almamaternya, Dar 'Ulum. Lalu tak lama kemudian (1912) ia juga mengajar di al-Jami'ah ai-Mishriyyah untuk bidang studi Filsafat Islam. Di samping mengajar, Tanthawi juga aktif menulis, Selain artikel-artikelnya selalu muncul di Marian Al-Liwa, ia telah menulis iak kurang dari 30 judul buku, sehingga dirinya dikenal sebagai tokoh yang menggabungkan dua peradaban. yaitu agama dan perkembangan modern pemikiran sosial-politik. (M. Ali al-lyazi dalam Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum 1373 H: 429).
Tanthawi selalu mengatakan Islam adalah agama akal. Maksudnya, ilmu pengetahuan sesuai dengan tuntunan Al Quran, la juga aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui surat-surat kabar dan majalah, serta menghadiri berbagai pertemuan ilmiah. Selain itu, ia pun mendirikan lembaga pendidikan bahasa Inggris, supaya para pemuda Muslim dapat memahami ilmu dari Barat dan pemikiran mereka. Ada dua bidang keilmuan yang dipan-dangnya menjadi dasar untuk mencapai tingkat pengetahuan ilmiah, yaitu tafsir dan fisika. Pengetahuan ini pulalah yang dijadikannya 'penangkal' kesalahpahaman orang yang menuduh Islam menentang ilmu dan teknologi modern. Sebagai ' penulis, Tanthawi telah menghabiskan I umurnya untuk mengarang dan menerjemahkan buku-buku asing ke bahasa Arab, sejak ia mulai menjadi guru hingga pensiun tahun 1930. Ketika pecah Perang Dunia I (1914), Tanthawi banyak membangkitkan semangat penduduk di sekitar Dar al-'Ulum untuk melawan Inggris, baik melalui tulisan maupun ceramah atau khutbah, la juga tergabung dalam Partai Nasional yang dibentuk oleh Musthafa Kamil. Selain itu ia membentuk kelompok mahasiswa yang diberinya nama 'al-Jam'iyah al-Jawhariyah' (Organisasi Mutiara). Organisasi ini berpengaruh dalam menyebarkan rasa kebangsaan dan martabat peradaban rakyat Mesir, khususnya di daerah Iskandariyah.
Tanthawi wafat pada 1940 M/1358 H, Posisi Tanthawi Para ilmuwan memberikan ragam penilaian terhadap Tanthawi. Ada yang menyatakan, ia seorang sosiolog (hakim ijtima’i) yang selalu memperhatikan kondisi umat. Pernyataan ini didasarkan pada dua karya tulisnya: (1) Nahdlah al-Ummah wa Hayatuha (Kebangkitan dan Kehidupan Umat) yang membahas sistem kehidupan sosial, kondisi umat Islam, ilmu dan peradaban, hubungan antara dua peradaban umur dan barat yang mestinya saling menguntungkan. (2) Aina al-lnsan. membahas tentang hubungan antara organisasi atau kelompok, masalah politik dan sistem pemerintahan (makalah disampaikan pada Kongres Ilmu Pengatahuan di Inggris, Juli 1911). Ada juga yang memposisikan Tanthawi sebagai seorang teosofi alam (Hakim Thabi'i Lahuti) yang banyak mengkaji permasalahan sekitar ruh, keajaiban atau keanehannya. Penilaian ini dilandasi oleh beberapa bukunya, seperti (1) Jawahir al-'Ulum (Mutiara Ilmu), dijadikan sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Mesir, mengisahkan pemuda Mesir yang ingin menikah dengan putri Persia keturunan Turki; (2) al-Aiwah (Ruh). dan (3) al-Nidzam wa al-lslam (Peraturan Hukum dan Islam). Selain itu Tanthawi juga banyak membahas tentang objek materi dan hukum alam, sebagaimana terungkap dalam bukunya Nidzam al-'Alam wa al-Umam (Keteraturan Alam Semesta dan Girl Bangsa-bangsa), membahas tentang dunia tumbuhan, hewan, manusia, pertambangan, sistem ruang angkasa (Nidzam al-Samawat) fenomena kehidupan raja, politik Islam, dan " politik konvensional, terbit 1905. Ia mengangkat dua ide besar yaitu: bahwa agama Islam merupakan agama fitrah, relevan dengan rasio manusia dan penciptaan jasmani manusia (al-Jhiba' al-Basyariyah), dan bahwa agama Islam kompatibel dengan hukum alam dan ilmu- ilmu modern. Peneliti lain menempatkan Tanthawi pada posisi pakar keislaman yang menafsirkan Al Quran sesuai dengan zaman modern (waktu itu). Pernyataan ini terlihat jelas dalam kitab tafsirnya Al-Jawahir dan karya lainnya, yaitu Al-Taj wa al-Murassha (Mahkota dan Mutiara), yang menjelaskan berbagai fenomena alam serta membahas titik temu antara filsafat Yunani. ilmu modern dan teks Al Quran (makalah disampaikan pada Muktamar Agama-agama di Jepang, 1906). Santilana [Filosof Italia] telah meringkas buku ini dengan judul Shadyu Shaut at-Misriyyin bi Uruba.

  1. Latar Belakang Penulisan
Bagi  Tanthawi, tuanya usia bukan penghalang untuk tetap concern di dunia tulis menulis. Bahkan keriput kulit jari jemarinya memberikan “ilham” tersendiri untuk memunculkan berbagai karya.
Hal tersebut bukan sekedar omong kosong belaka, sebab justeru diusia senjanya (60 tahun), Tanthawi mampu menghadirkan karya besarnya, yakni kitab al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim. Tafsir ini terdiri dari 25 jilid, dan pertama kali dicetak di Kairo oleh penerbit Muassasah Musthafa al Babi al Halabi tahun 1350 H / 1929 M. Sementara cetakan ketiga di Beirut, Dar al Fikr tahun 1395 H/1974.
Kaitannya dengan latar belakang penulisan tafsir ini, ada komentar menarik dari Tanthawi, yaitu:
“Sejak dahulu aku senang menyaksikan keajaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya, baik yang ada di langit atau kehebatan dan kesempurnaan yang ada di bumi. Perputaran atau revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak datang dan meghilang, kilat yang menyambar seperti listrik yang membakar, barang tambang yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang beterbangan, binatang buas yang berjalan, binatang ternak yang digiring, hewan-hewan yang berlarian, mutiara yang berkilauan, ombak laut yang menggulung, sinar yan menembus udara, malam yang gelap, matahari yang bersinar, dan sebagainya.” [3]

Itulah yang mendorong Tanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi Ilmu  Alam.
Al Qur’an menuliskan keajaiban-keajaiban tersebut, menampakkan alam fisik yang tersebar, serta langit yang ditinggikan. Kesemuanya memberikan kebahagiaan bagi orang yang memiliki “mata hati” (dzu al bashair) dan memberikan sinar serta pelajaran (tabshirah) bagi orang-orang yang membenarkan rahasia-rahasia Tuhan.
Selanjutnya ia menyatakan, “Tatkala diriku berfikir untuk merenungi keadan umat Islam sekarang, dan kondisi pendidikan agamanya, maka aku menuliskan surat kepada beberapa tokoh cendekiawan (al ‘Uqala’) dan para ‘Ulama besar (ajilah al ‘ulama’) tentang makna-makna alam yang ditinggalkan, juga tentang jalan keluarnya yang masih banyak dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit sekali diantara para ulama’ yang memikirkan realitas alam semesta dan keanehan-keanehan yang ada di dalamnya.”
Tanthawi juga menyatakan, “.......di dalam karangan-karangan tersebut aku memasukkan (majaztu) ayat-ayat al Qur’an dengan keajaiban-keajaiban alam semesta; dan aku menjadikan wahyu Illahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban penciptaan, hukum alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-nya. Maka aku meminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga aku dapat menafsirkan al Qur’an dan menjadikan segala disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu al Qur’an (Juz I: 2, muqaddimah).[4]
Tafsir al Jawahir ini ditulis pertama kali oleh Tanthawi ketika ia mengajar di Universitas Dar al ‘Ulum, Mesir, yang kemudian dimuat di Majalah al Malaji’ al ‘Abasiyah. Adapun mengenai corak penafsiran atau model pendekatan yang diambil ini, oleh Tanthawi ditujukan agar umat Islam “menyenangi” keajaiban alam semesta, keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.[5]

  1. Metode Penulisan
Kitab al Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan Mushaf ‘Utsmani. Sebelum menafsirkan Surat al Fatihah, Tanthawi terlebih dahulu mengutip Surat al Nahl: 89 dalam uraian “Kata Pendahuluan” (Muqaddimah). Berbeda dengan jilid II dan selanjutnya, dimana ia menjadikan Surat al Nahl: 44 sebagai “motto” dari uraiannya.
Setiap surat yang ditafsirkan, Tanthawi kerapkali mengklasifikasikannya sebagai Surah Makkiyah atau Surah Madaniyah sesuai periode turunnya al Qur’an. Namun ia tidak menjelaskan secara rinci tentang adanya ayat tertentu yang berbeda klasifikasi periodenya dengan karakteristik umum dari induk atau surah-nya, sebagaimana ia tidak mengungkapkan perbedaan riwayat yang muncul terkait dengan klasifikasi suatu surah.
Kemudian Tanthawi menuliskan alasan, latar belakang, maksud dan tujuan penulisan tafsirnya ini, sebagaimana telah disinggung di atas, ide-idenya yang berkenaan dengan tafsir al Qur’an yang pernah diterbitkan dalam beberapa media sebelumnya kembali ia rangkum. Gambar foto juga menjadi media pelengkap ketika Tanthawi menjelaskan ayat-ayat yang berhubungan dengan alam.
Sudah barang tentu ketika ia menafsirkan kalam-kalam suci Allah SWT, argumentasi ilmiah menyertai penjelasannya, terutama yang bersentuhan dengan alam secara umum, sehingga “hampir semua tokoh” sepakat mengkategorikan tafsir ini sebagai tafsir ilmiah.[6] Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa corak ilmiah tafsir Tanthawi tidak sepenuhnya dibenarkan, karena al Qur’an bukanlah kitab “ilmu”, melainkan kitab “hudan” bagi manusia. Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Membumikan al Qur’an” (1999: 72), petunjuk al Qur’an ada yang berbentuk lafdzi, qiyasi, isyari dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.[7]
Sebagai bukti bahwa apa yang telah didapat oleh para ilmuwan tentang kecocokan hasil penelitian mereka dengan pesan al Qur’an sangat terbatas. Misalnya, ketika para dokter berhasil “menciptakan” alat untuk mengetahui apakah janin dalam kandungan seorang ibu hamil itu laki-laki atau perempuan berikut lahirnya namun prediksi itu kerapkali keliru, mereka juga tidak tahu pasti kapan bayi itu akan lahir, berapa beratnya, bagaimana bentuk rambutnya, wajahnya, dan lain-lain.
Contoh lain adalah ketika dahulu ada ulama’ yang memahami arti sab’a samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang mengedari tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika itu, dapat diterima. “Ini adalah suatu ijtihad yang baik yang merupakan pendapat seseorang, selama dia tidak mewajibkan dirinya mempercayai hal tersebut sebagai sebuah i’tiqad (kepercayaan) dan tidak pula mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang lain.”[8]
Kita ambil contoh bagaimana Tanthawi menafsirkan ayat al Qur’an yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: ه)
Artinya: “Wahai manusia! Jika kamu dalam keraguan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim neurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian secara berangsur-angsur kamu menjadi dewasa, dan (ada pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, dan ia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah ia ketahui. Dan kamu lihat bumi ini kering. Kemudian bila Kami turunkan air, hiduplah bumi dan subur serta tumbuhlah berbagai macam tumbuhan yang indah.” (Q.S. al Hajj: 5) [9]

Dalam menafsirkan ayat ini Tanthawi memberikan kiasan bahwa manusia itu berasal dari tanah, sebagaimana juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Unsur air juga menjadi penyebab tumbuhnya manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Setelah menjelaskan proses keajaiban manusia di dalam rahim seorang ibu, ia menegaskan bahwa inilah dalil penting ilmu al ajnah atau embriologi manusia dan ilmu ini wajib dipelajari. Tanthawi berpendapat bahwa ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya ilmu alam dan mempelajarinya adalah satu hal yang wajib. Hal demikian karena al Qur’an hanya memberikan petunjuknya secara global dan kesempurnaannya dibutuhkan pengetahuan yang lainnya.[10]
Achmad Baiquni melontarkan pertanyaan dalam bukunya, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, “kenapa seorang anak mewarisi sifat atau mungkin watak kedua orang tuanya?” secara ilmiah hal ini disebabkan oleh percampuran kromosom (sel laki-laki dan perempuan). Setelah kromosom berkumpul menjadi satu kemudian membelah dan berakhir dengan terjadinya dua buah sel keturunan. Lalu sel-sel keturunan itu meneruskan pembelahan, dan tiap sel yang dihasilkan merupakan “kopian” dari pendahulunya. Itulah sebabnya, kenapa setiap anak hampir dapat dikatakan pasti mewarisi sifat orang tuanya.[11]
Contoh lain adalah Q.S. al A’raf: 58 yang berbunyi:
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ (الأعرف:    )

Artinya: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Allah; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. al A’raf: 58)[12]

Ayat ini menunjukkan bahwa walaupun walaupun Tuhan dengan kehendak-Nya diperlukan bagi tumbuhnya tanam-tanaman, kecocokan tanah juga tumbuh juga merupakan syarat tumbuhnya tanaman tersebut, karena tidak semua tanaman dapat tumbuh pada setiap tanah. Maka dengan kecocokan tanah, Tuhan menjadikan tanaman itu mungkin untuk tumbuh. Tafsiran ini menunjukkan bahwa Tanthawi berusaha untuk memberikan “nuansa baru”, bahwa al Qur’an sudah memberikan petunjuk tentang keilmiahannya, dan keilmiahannya itu sesuai dan berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.[13]
Dengan demikian, inti dari pemikiran Tanthawi melalui karya besarnya ini adalah untuk mewujudkan kepeduliannya terhadap kondisi obyektif masyarakat Muslim pada masanya agar bangkit dari keterbelakangan dan kebodohan.
  1. Karya Tanthawi Jauhari
Sebagian karya tulis Tanthawi telah disebutkan di atas, sebagiannya pula telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Beberapa buku lainnya adalah:
1. Jamal al-'Alam (Keindahan Alam), membahas tentang hewan, burung, serangga, dikemas dengan cara ilmiah dan agamis, dicetak 1902 M/ 1320 H atas dorongan 'penyair sungai Nil1, Hafidz Bek Ibrahim.
2. Buhjah al-'Ulum fi al-Falsafah al- 'Arabiyah wa Muwazanatuha bi al-'Ulum al- 'Ashriyah (Keelokan ilmu pengetahuan dalam Filsafat Arab serta Posisinya-dalam ilmu-ilmu kontemporer), terbit 1936,
memuat uraian agama dan filsafat, filsafat Al-Farabi, serta sejarah filsafat Yunani.
3. Al-Musiqa al-'Arabi (Musik Arab), memuat tiga artikel tentang seni musik dan filsafat musik,asal usul ilmu arud serta pendapat ahli hikmah tentang musik.
4. Sawanih al-Jawhar! (Kesempatan Berharga), kumpulan catatan harian Tanthawi. tentang alam sekitar dan perkembangan manusia, tabiat anak kecil, sikap kebarat-baratan yang menghalangi putra-putri muslim di negeri timur. Ia juga menafsirkan tentang 'nafsu syahwat yang dapat mencegah meningkatnya peradaban umat manusia, perlunya menyatukan langkah dan kebijakan dalam memajukan bidang dan akhlak yang mulia.
5. Al-Sirr al- 'Ajib fi Hikmah Ta 'addud Azwaj al-Nabi (Rahasia Agung Tentang Hikmah Poligami Nabi). Sesuai dengan judulnya buku ini membahas tentang poligami di kalangan umat Islam, serta praktek poligami yang dilakukan Nabi saw.
6. Bara'ah al-'Abbasiyah, buku sejarah yang dikemas dalam bentuk sastra, mengklarifikasi kekeliruan sejarah antara George Zaidan dan Ja'far al-Barmaki yangh ditulis semasa Kihalifah Harun al-Rasyid.
7. Risalah 'Ain al-Namiah (Tulisan Tentang Semut), mengungkapkan perjalanannya bersama ahli kedokteran dan dosen-dosen lain mengenai keajaiban semut, seperti mata semut yang tersusun alas 200 "bola mata" dan setiap mata bersifat otonorn penuh.
8. Al-Qur'an wa al- Vium al-Ashriyyah (Al Quran dan llmu-llmu Modern), terbit tahun 1342 H/1923, isinya mendorong umat Islam untuk menghimpun kemampuan mereka dan menguasai ilmu-ilmu mdern, sehingga mereka menjadi pemilik yang sah, dari ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah Allah janjikan agar umat Islam menguasai burni dengan adil.

III. PENUTUP
Demikianlah pola pemikiran serta corak penafsiran dari Tanthawi Jauhari dalam kitab tafsir al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim. Dari uraian tersebut diatas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Tanthawi menyusun kitab tafsir al Jawahir ini dengan mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi Ilmu  Alam. Menuliskan keajaiban-keajaiban alam, menampakkan alam fisik yang tersebar, serta langit yang ditinggikan, yang kesemuanya memberikan kebahagiaan bagi orang yang memiliki “mata hati” (dzu al bashair) dan memberikan sinar serta pelajaran (tabshirah) bagi orang-orang yang membenarkan rahasia-rahasia Tuhan.
2.      Tanthawi berusaha untuk memberikan “nuansa baru”, bahwa al Qur’an sudah memberikan petunjuk tentang keilmiahannya, dan keilmiahannya itu sesuai dan berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.
3.      Meskipun “hampir semua tokoh” sepakat mengkategorikan tafsir ini sebagai tafsir ilmiah, akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa corak ilmiah tafsir Tanthawi tidak sepenuhnya dibenarkan, karena al Qur’an bukanlah kitab “ilmu”, melainkan kitab “hudan” bagi manusia.
4.   Ada yang menyatakan, Tanthawi seorang sosiolog (hakim ijtima’i) Ada juga yang memposisikan Tanthawi sebagai seorang teosofi alam (Hakim Thabi'i Lahuti)






DAFTAR PUSTAKA

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2002
Iyazi, Sayyid Muhammad Ali, al Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Beirut: Dar al Fikr, 1373 H
Jauhari, Tanthawi, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974
Jansen, J.J.G., Diskursus Tafsir al Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1977
al Fanisan, Su’ud ibn Abdul Falah, Ikhtilaf al Mufassirin; Asbabuhu wa Atsaruhu, Beirut: Dar al Ma’rifah, 1997
Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999
al Thabathaba’iy, Muhammad Husain, Tafsir al Mizan, Jilid I, Beirut: Dar al Kutub al Islamiyah, Cet. III, 1397 H
Depag RI, al Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar, 2004
Baiquni, Ahmad, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1997


[1] Tanthawi Jauhari, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974, hlm. 3

[2] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 226 et. seq
[3] J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1977, hlm. 23
[4] Ibid., hlm. 25. lihat juga Tanthawi Jauhari, Op. Cit., hlm. 2
[5] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, al Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Beirut: Dar al Fikr, 1373 H, hlm 450
[6] Su’ud ibn Abdul Falah al Fanisan, Ikhtilaf al Mufassirin; Asbabuhu wa Atsaruhu, Beirut: Dar al Ma’rifah, 1997: 53 et.seq
[7] M. Quraish Shihab, “Membumikan” al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999, hlm. 109

[8] Ibid., hlm. 110. lihat juga Muhammad Husain al Thabathaba’iy, Tafsir al Mizan, Jilid I, Beirut: Dar al Kutub al Islamiyah, Cet. III, 1397 H, hlm. 6
[9] Depag RI, al Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 462
[10] Ahmad Baiquni, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1997, hlm. 185
[11] Ibid., hlm. 187
[12] Depag RI, Op. Cit., hlm. 212
[13] Ahmad Baiquni, Op. Cit., hlm. 191